Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

NEONATUS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Dengan meningkatnya taraf kesehatan Indonesia, dimana hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas SDM anak Indonesia yang cerdas, sehat untuk masa yang akan datang maka pemerintah bersama Dinas Kesehatan beserta jajarannya berupaya sedini mungkin untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang sangat banyak  terjadi di masyarakat khususnya yang terjadi pada anak-anak.
Diantaranya tingkat mortalitas bayi setelah lahir, dengan sepsis, malnutrisi, BBLR dan prematurisme yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Sepsis neonatorum merupakan salahsatu masalah yang dapat menyebabkan kematian pada bayi dengan insiden sepsis neonatal sangat rendah, antara 1-8 kasus per 1000 kelahiran hidup dengan Meningitis sebanyak 20%-25%, mortalitas berkisar antara 20%-30%. Epidemiologi infeksi neonatal dapat berubah-ubah seperti halnya bayi berat lahir rendah yang dapat bertahan hidup untuk waktu yang lebih lama.
Insiden infeksi berbanding terbalik dengan umur kelahiran dan berat badan lahir mungkin mencapai 25%-40% diantara bayi dengan berat badan 500-1000 gr saat lahir dan 12%-40% pada bayi 1000-1500gr. Infeksi nasokomial pada bayi berat badan lahir sangat rendah (< 1500gr ) rentan sekali menderita sepsis neonatal. Selain perubahan-perubahan tersebut, spektrum etiologi bakteri dan mortalitas sepsis neonatal yang berkembang.
Pada tahun 1930, Steptococcus hemolitikus grup A merupakan penyebab terbanyak infeksi neonatal dan dikendalikan dengan penisilin. Pada tahun 1940 insiden infeksi gram negatif, khususnyan E.colli, meningkat dan pada tahun 1950-an insiden staphilococcus penghasil penisilinase ( S.aureus ) meningkat. Sejalan dengan berkembangnya pemahaman  kolonisasi pada neonatus, praktik perawatan kulit dan tali pusat berkembang pula.
Infeksi gram negatif menonjol pada tahun 1960 dan tahun 1970 streptococcus b hemolitikus grup B yang menonjol. Pada tahun 1980-an infeksi nasokomial merupakan masalah utama dalam bangsal perawatan intensif.Bersamaan dengan perubahan organisme penyebab infeksi bisa terjadi menurunnya mortalitas, mungkin sebagian mencerminkan besarnya organisme gram positif sebagai agen etiologi yang menonjol hingga sekarang mortalitasnya dilaporkan sebesar 11% – 20 %. Bila tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam, oleh Karena itu perlu adanya pengetahuan bagi tim kesehatan dalam pemberian pelayanan keperawatan dan medis dalam penatalaksanaan sepsis neonatorum, sehingga dapat mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas bayi, dan dapat mempertahankan generasi penerus yang sehat.

1.2. TUJUAN
        Untuk mengetahui asuhan kebidanan pada bayi dengan sepsis neonatorum

1.3  MANFAAT
a.       Meningkatkan pengetahuan tentang sepsis neonatorum.
b.      Meningkatkan pengetahuan mengenai penatalaksanaan bayi sepsis neonatorum.








BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
  • Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat berlangsung cepat sehingga seringkali tidak terpantau, tanpa pengobatan yang memadai bayi dapat meninggal dalam 24 sampai 48jam.(perawatan bayi beriko tinggi, penerbit buku kedoktoran, jakarta : EGC).
  • Sepsis neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah pada bayi selama empat minggu pertama kehidupan. Insiden sepsis bervariasi yaitu antara 1 dalam 500 atau 1 dalam 600 kelahiran hidup (Bobak, 2005).
  • Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis dapat berlangsung cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang memadai sehingga neonatus dapat meninggal dalam waktu 24 sampai 48 hari. (Surasmi, 2003)
  • Sepsis neonatal adalah merupakan sindroma klinis dari penyakit sistemik akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan sepsis bayi baru lahir. (DEPKES 2007)
  • Sepsis neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi dalam 28 hari pertama setelah kelahiran. (Mochtar, 2005)
Dari beberapa pengertian diatas, kami menyimpulkan bahwa sepsis neunatorum adalah infeksi berat karena bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan dan dapat menyebabkan kematian.

2.2 ETIOLOGI
Bakteria seperti Escherichia coli, Listeriamonocytogenes, Neisseriameningitidis, Sterptococcuspneumoniae, Haemophilusinfluenzae tipe B, Salmonella, dan Streptococcus grup B merupakan penyebab paling sering terjadinya sepsis pada bayi berusia sampai dengan 3 bulan. Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.
Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu selama kehamilan atau proses kelahiran. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya sepsis pada neonatus, antara lain:
a.       Perdarahan
b.      Demam yang terjadi pada ibu
c.       Infeksi pada uterus atau plasenta
d.      Ketuban pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)
e.       Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)
f.       Proses kelahiran yang lama dan sulit.
g.      Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran.
Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan.
Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator.Organisme yang normalnya hidup di permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat seperti yang telah disebut di atas.
Bayi berusia 3 bulan sampai 3 tahun beresiko mengalami bakteriemia tersamar, yang bila tidak segera dirawat, kadang-kadang dapat megarah ke sepsis.Bakteriemia tersamar artinya bahwa bakteria telah memasuki aliran darah, tapi tidak ada sumber infeksi yang jelas.
Tanda paling umum terjadinya bakteriemia tersamar adalah demam, Hampir satu per tiga dari semua bayi pada rentang usia ini mengalami demam tanpa adanya alasan yang jelas - dan penelitian menunjukkan bahwa 4% dari mereka akhirnya akan mengalami infeksi bakterial di dalam darah. Streptococcuspneumoniae (pneumococcus) menyebabkan sekitar 85% dari semua kasus bakteriemia tersamar pada bayi berusia 3 bulan sampai 3.

2.3 PATOFISIOLOGI
Patogenesis dapat terjadi pada antenatal, intranatal, dan pascanatal yaitu;
1.      Antenatal
Terjadi karena adanya faktor resiko, pada saat antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk ke dalam tubuh melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang menebus plasenta, antara lain: virus rubella, herpes, influeza, dan masih banyak yang lain.

2.      Intranatal
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan amnion.akibatnya terjadilah amnionitis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk ketubuh bayi. Cara lain saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi oleh bayi sehingga menyebabkan infeksi pada lokasi yang terjadi pada janin melalui kulit bayi saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman.


3.      Pascanatal
Infeksi yang terjadi sesudah persalinan, umumnya terjadi akibat infeksi nasokomial dari lingkungan di luar rahim,( misal : melallui alat-alat, penghisap lendir, selang endotrakea, infus, dan lain-lain). Dan infeksi dapat juga terjadi melalui luka umbillikus.

Faktor- factor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga kelompok yaitu :
1.      Faktor Maternal
a.       Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar belakang. Mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi dengan alasan yang tidak diketahui sepenuhnya. Ibu yang berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat tinggalnya padat dan tidak higienis, Bayi kulit hitam lebih banyak mengalami infeksi dari pada bayi berkulit putih.
b.      Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3) dan umur ibu (kurang dari 20 tahun atua lebih dari 30 tahun.
c.       Kurangnya perawatan prenatal.
d.      Ketuban pecah dini (KPD)
e.       Prosedur selama persalinan.

2.      Faktor Neonatatal
a.       Prematurius ( berat badan bayi kurang dari 1500 gram), merupakan faktor resiko utama untuk sepsis neonatal. Umumnya imunitas bayi kurang bulan lebih rendah dari pada bayi cukup bulan. Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin serum terus menurun, menyebabkan hipigamaglobulinemia berat. Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit.
b.      Defisiensi imun, Neonatus bisa mengalami kekurangan IgG spesifik, khususnya terhadap streptokokus atau Haemophilus influenza. IgG dan IgA tidak melewati plasenta dan hampir tidak terdeteksi dalam darah tali pusat. Dengan adanya hal tersebut, aktifitas lintasan komplemen terlambat, dan C3 serta faktor B tidak diproduksi sebagai respon terhadap lipopolisakarida. Kombinasi antara defisiensi imun dan penurunan antibodi total dan spesifik, bersama dengan penurunan fibronektin, menyebabkan sebagian besar penurunan aktivitas opsonisasi.
c.       Laki-laki dan kehamilan kembar. Insidens sepsis pada bayi laki- laki empat kali lebih besar dari pada bayi perempuan.

3.      Faktor Lingkungan
a.       Pada defisiensi imun bayi cenderung mudah sakit sehingga sering memerlukan prosedur invasif, dan memerlukan waktu perawatan di rumah sakit lebih lama. Penggunaan kateter vena/ arteri maupun kateter nutrisi parenteral merupakan tempat masuk bagi mikroorganisme pada kulit yang luka. Bayi juga mungkin terinfeksi akibat alat yang terkontaminasi.
b.      Paparan terhadap obat-obat tertentu, seperti steroid, bis menimbulkan resiko pada neonatus yang melebihi resiko penggunaan antibiotik spektrum luas, sehingga menyebabkan kolonisasi spektrum luas, sehingga menyebabkan resisten berlipat ganda.
c.       Kadang- kadang di ruang perawatan terhadap epidemi penyebaran mikroorganisme yang berasal dari petugas ( infeksi nosokomial), paling sering akibat kontak tangan.
d.      Pada bayi yang minum ASI, spesies Lactbacillus dan E.colli ditemukan dalam tinjanya, sedangkan bayi yang minum susu formula hanya didominasi oleh E.colli.

2.4 MANIFESTASI KLINIS
1.      Umum : panas, hipotermi, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
2.      Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatomegaly.
3.      Saluran napas : apnea, dispnea, takipnea, retraksi, napas cuping hidung, merintih, sianosis.
4.      Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kulit marmorata, kulit lembab, hipotensi, takikardi, bradikardia.
5.      Sistem saraf pusat : irritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum, pernapasan tidak teratur, ubun-ubun menonjol,high-pitched cry.
6.      Hematologi : ikterus,splenomegali, pucat, petekie, purpura, pendarahan.(Kapita selekta kedokteran Jilid II,Mansjoer Arief 2008)
Gejala sepsis yang terjadi pada neonatus antara lain bayi tampak lesu, tidak kuat menghisap, denyut jantungnya lambat dan suhu tubuhnya turun-naik. Gejala-gejala lainnya dapat berupa gangguan pernafasan, kejang, jaundice, muntah, diare, dan perut kembung
Gejala dari sepsis neonatorum juga tergantung kepada sumber infeksi dan penyebarannya:
a.       Infeksi pada tali pusar (omfalitis) menyebabkan keluarnya nanah atau darah dari pusar
b.      Infeksi pada selaput otak (meningitis) atau abses otak menyebabkan koma, kejang, opistotonus (posisi tubuh melengkung ke depan) atau penonjolan pada ubun-ubun
c.       Infeksi pada tulang (osteomielitis) menyebabkan terbatasnya pergerakan pada lengan atau tungkai yang terkena
d.      Infeksi pada persendian menyebabkan pembengkakan, kemerahan, nyeri tekan dan sendi yang terkena teraba hangat
e.       Infeksi pada selaput perut (peritonitis) menyebabkan pembengkakan perut dan diare berdarah
2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropemia dengan pergeseran ke kiri (imatur: total seri granolisik > 0,2).
2.      Kultur darah dapat menunjukkan organisme penyebab.
3.      Analisis kultur urine dan cairan sebrospinal (CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi organisme.
4.      DPL menunjukan peningkatan hitung sel darah putih (SDP) dengan peningkatan neutrofil immatur yang menyatakan adanya infeksi.
5.      Laju endah darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya inflamasi.
2.6  PENATALAKSANAAN
1.      Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v (dibagi 2 dosis untuk neonatus umur < 7 hari dibagi 3 dosis), dan Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan waktu pemberian ½ sampai 1 jam pelan-pelan).
2.      Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap, feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif).
3.      Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4.      Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5.      Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari i.v i.m (atas indikasi khusus).
6.      Pemberian antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya. Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.Pengobatan suportif meliputi : Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik asidosis, terapi hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar

2.7. PENCEGAHAN
1.      Pada masa antenatal
Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang di derita ibu, asupan gizi yang memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ketempat pelayanan yang memadai bila diperlukan.
2.      Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, yang artinya dalam melakukan pertolongan persalinan harus dilakukan tindakan aseptik.Tindakan intervensi pada ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan). Mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan, melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan dan menghindari perlukaan kulit dan selaput lendir.
3.      Sesudah persalinan
Perawatan sesudah lahir meliputi menerapkan rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan tersendiri, perawatan luka umbilikus secara steril.
Tindakan invasif harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik.Menghindari perlukaan selaput lendir dan kulit, mencuci tangan dengan menggunakan larutan desinfektan sebelum dan sesudah memegang setiap bayi.Pemantauan bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik.Semua personel yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat.Bayi yang berpenyakit menular di isolasi, pemberian antibiotik secara rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes resistensi. (Sarwono, 2004)
2.8. ASUHAN PERAWATAN PASCA SEPSIS NEONATORUM
  1. Hipertermia berhubungan dengan kerusakan control suhu sekunder akibat infeksi atau inflamasi.
a.       Kriteria Hasil
a)      Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)
b)      Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit, frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)
b.      Intervensi dan Rasional.
INTERVENSI
RASIONAL
1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna kulit
Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan akan mempengaruhi proses regulasi ataupun metabolisme dalam tubuh.
2. Observasi adanya kejang dan dehidrasi
Hipertermi sangat potensial untuk menyebabkan kejang yang akan semakin memperburuk kondisi pasien serta dapat menyebabkan pasien kehilangan banyak cairan secara evaporasi yang tidak diketahui jumlahnya dan dapat menyebabkan pasien masuk ke dalam kondisi dehidrasi.
3. Berikan kompres denga air hangat pada aksila, leher dan lipatan paha, hindari penggunaan alcohol untuk kompres.
Kompres pada aksila, leher dan lipatan paha terdapat pembuluh-pembuluh dasar besar yang akan membantu menurunkan demam. Penggunaan alcohol tidak dilakukan karena akan menyebabkan penurunan dan peningkatan panas secara drastis.
Kolaborasi
4. Berikan antipiretik sesuai kebutuhan jika panas tidak turun.
Pemberian antipiretik juga diperlukan untuk menurunkan panas dengan segera.

2.      Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan sekunder akibat demam
a.       Kriteria Hasil
a)      Suhu tubuh berada dalam batas normal (Suhu normal 36,5o-37o C)
b)      Nadi dan frekwensi napas dalam batas normal (Nadi neonatus normal 100-180 x/menit, frekwensi napas neonatus normal 30-60x/menit)
c)      Bayi mau menghabiskan ASI/PASI 25 ml/6 jam
b.      Intervensi dan Rasional

INTERVENSI
RASIONAL
1. Monitoring tanda-tanda vital setiap dua jam dan pantau warna kulit
Perubahan tanda-tanda vital yang signifikan akan mempengaruhi proses regulasi ataupun metabolisme dalam tubuh.
2. Observasi adanya hipertermi, kejang dan dehidrasi.
Hipertermi sangat potensial untuk menyebabkan kejang yang akan semakin memperburuk kondisi pasien serta dapat menyebabkan pasien kehilangan banyak cairan secara evaporasi yang tidak diketahui jumlahnya dan dapat menyebabkan pasien masuk ke dalam kondisi dehidrasi.
3. Berikan kompres hangat jika terjadi hipertermi, dan pertimbangkan untuk langkah kolaborasi dengan memberikan antipiretik.
Kompres air hangat lebih cocok digunakan pada anak dibawah usia 1 tahun, untuk menjaga tubuh agar tidak terjadi hipotermi secara tiba-tiba. Hipertermi yang terlalu lama tidak baik untuk tubuh bayi oleh karena itu pemberian antipiretik diperlukan untuk segera menurunkan panas, misal dengan asetaminofen.
4. Berikan ASI/PASI sesuai jadwal dengan jumlah pemberian yang telah ditentukan
Pemberian ASI/PASI sesuai jadwal diperlukan untuk mencegah bayi dari kondisi lapar dan haus yang berlebih.


  1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan volume bersirkulasi akibat dehidrasi.
a.       Kriteria Hasil
a)      Tercapai keseimbangan ai dalam suang interselular dan ekstraselular.
b)      Keadekuatan kontraksi otot untuk pergerakan.
c)      Tingkat pengaliran darah melalui pembuluh kecil ekstermitas dan memelihara fungsi jaringan
b.      Intervensi dan Rasional
INTERVENSI
RASIONAL
1. perawatan sirkulasi (misalnya periksa nadi perifer,edema, pengisian perifer, warna, dan suhu ekstremitas)
1. meningkatkan sirkulasi arteri dan vena
2. pantau perbedaan ketajaman/tumpul dan panas/dingin
2.mengetahui sensasi perifer, kemungkinan parestesia
3. pantau status cairan
3. mengetahui keseimbangan antara asupan dan haluaran







  1. PK: Trombositopenia
Perawat akan menangandi dan mengurangi komplikasi penurunan trombosit.
a.       Intervensi dan Rasional
INTERVENSI
RASIONAL
1. Pantau JDL, hemoglobin, tes koagulasi dan jumlah trombosit
Nilai ini membantu mengevaluasi respon klien terhadap pengobatan dan resiko terhadap pendarahan akibat dari sepsis.
2. Pantau tanda tau gejala pendarahan spontan atau perdarahan hebat : ptekie, ekimosis, hematoma spontan, perubahan tanda-tanda vital.
Pemantauan secara konstan sangat dibutuhkan untuk menjamin deteksi dini adanya episode perdarahan
3. Pantau tanda perdarahan sisemik atau hipovolemia, seperti peningkatan frekuensi nadi, napas dan tekanan darah, perubahan status neurologis
Perubahan pada oksigen sirkulasi akan mempengaruhi fungsi jantung, vascular dan fungsi neurologis










BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari beberapa pengertian diatas, kami menyimpulkan bahwa sepsis neunatorum adalah infeksi berat karena bakteri pada aliran darah bayi selama empat minggu pertama kehidupan dan dapat menyebabkan kematian.Sepsis neonatorum ini disebbakan oleh infeksi bakteri.Sehingga menyebabkan gangguan pada suhu bayi, pada system pencernaan, kardiovaskuler, paru dan juga system saraf pusat.
Bila tidak dilakukan penatalaksanaan yang baik maka dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti Dehidrasi, Asidosis metabolic, Hipoglikemia, Anemia, Hiperbilirubinemia, Meningnitis dan DIC, Sehingga dapat menimbulkan beberapa masalah keperawatan seperti gangguan pola napasa, hipertermi/ pihotermi, gangguan volume cairan, gangguan nutrisi, gangguan perfusi jaringan.

3.2 SARAN
Dengan makalah ini penulis berharap, mahasiswa dapat memahami konsep teori beserta asuhan kebidanan pada bayi dengan sepsis neonatorum, agar dilapangan dapat melakukan asuhan kebidanan dengan profesional, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi mortalitas pada bayi sehingga mampu mempertahankan generasi yang sehat.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar